Sebuah
kisah dimulai ketika pagi hari, kala matahari baru sepenggalah naik,
seorang remaja perempuan, yang baru selesai menamatkan pendidikan di
bangku sekolah menengah atas, mengikuti kegiatan orientasi akademik atau
disingkat ormik, di salah satu kampus swasta yang bernuansa islam, STT Terpadu Nurul Fikri tepatnya.
Wajah
baru yang sebelumnya tidak pernah ia temui, kini membaur menjadi satu,
untuk bersama membangun kekompakkan dalam satu tim bernama kelompok
merah maroon.
Tugas
hari pertama selesai ia lalui, dengan memakai pakaian berwarna putih
serta rok hitam dengan berbalut jilbab berwarna hitam pula, tidak lupa
memakai nametag juga atribut kelompok. Sepatu hitam tak lupa ia kenakan
bak tentara hendak berjuang ke medan perang. Semangat yang menggelora
nampak pada syair lagu yang ia nyanyikan bersama rekan seperjuangannya
itu, walaupun ada perasaan was-was karena belum sempat menghafal baris
dari setiap bait lirik lagunya.
Syarat
bawaan pribadi yang harus dibawanya hari itupun tidak mudah ia
dapatkan. Ketika waktu menunjukkan pukul 7 malam, ia belum juga
menemukan pocong hijau yang seharusnya sudah memenuhi tempat bekal makan
siang untuk keesokan harinya. Namun, Allah memudahkan jalannya, Sang
Maha Kuasa mengulurkan bantuan-Nya melalui seorang malaikat di dunia,
bernama teman. Yaa, temannya itu yang membelikannya sebuah lontong
dengan ukuran yang tidak terlalu besar di area Pasar Minggu. Dan
alhasil, tidak ada hukuman yang ia terima, karena semua barang bawaan
pribadi maupun kelompok dengan rapi telah ia susun di tas merah yang
digendongnya.
Tiba
hari terakhir masa orientasi akademik, ia berpenampilan layaknya
seorang eksekutif muda yang memperlihatkan kepiawaiannya dalam berkarya.
Dengan perasaan senang, ia mengenakan atribut berupa pin yang berlabel
"ORMIK". Sekotak hadiah yang terbungkus rapi di dalam kertas kado,
digenggamnya dan kemudian ia berikan kepada salah satu panitia ormik.
Bukan untuk memperingati hari kelahiran seseorang, melainkan untuk
bertukar kado dengan seluruh peserta ormik di ruang yang terbatas
dinding itu.
Sebelum
adzan maghrib berkumandang, kedua mata dari peserta ormik ditutup
dengan menggunakan slayer, kemudian diberi arahan satu persatu untuk
berjalan mengambil satu dari gundukan kado yang menggunung di sudut
tengah ruangan.
Tiba
gilirannya untuk berjalan menyusuri kegelapan, menyeberangi celah dari
barisan peserta ormik lainnya. Hingga saat semakin dekat dengan gundukan
kado, ia tak sengaja menabrak titik yang mengisi barisan itu, dimana
seharusnya mampu ia lewati tanpa harus menyentuhnya. Namun, hal itu tak
membuatnya berhenti melangkah, ia terus berjalan dalam kegelapan dengan
mengikui arahan dari salah satu panitia ormik.
Tak
butuh waktu lama, ia pun berada tepat diantara kado-kado yang
sebenarnya terpampang secara nyata, namun karena tak terlihat, sehingga
memaksanya untuk terus berjuang mengambil salah satu diantaranya. Tidak
hanya dengan sekali sentuh, ia terus meraba-raba, hingga tangannya
menggapai sebuah kado, yang menurutnya, Allah telah menggariskan bahwa
dirinyalah yang beruntung mendapatkan kado yang saat ini didekapnya.
Kemudian kembali ke titik dimana ia berada diantara barisan itu.
Detik-detik
waktu menuju pembukaan kado semakin dekat saja. Riuh, terdengar dari
setiap sudut hingga melebar ke tengah ruangan yang pecah mengiringi
munculnya sebuah titik terang, Yaa.. itulah secercah cahaya yang mulai
menampakkan kilaunya saat pelupuk matanya secara perlahan naik, bak
matahari terbit dari ufuk timur. Ditandai dengan lengkingan suara
panitia ormik, yang terdengar begitu kompak, berseru "Tiga, dua,
satuuu!", mengisyaratkan bahwa kado yang dipegang oleh masing-masing
peserta ormik boleh segera dibuka.
Ia
bergegas membuka kado yang terbungkus oleh beberapa lapis kertas, yang
mana menghalangi pandangannya terhadap benda yang kini menjadi miliknya
itu. Ekspresinya menggambarkan kebingungan seketika ia berhasil membuka
selebaran kertas yang membungkus kadonya itu. Bukan hanya dia, bahkan
peserta ormik lainnya pun terheran-heran melihat apa yang ia dapatkan.
Salah satu kakak panitia ormik yang melihat benda itu, kemudian memecah
suasana, dengan melepaskan tawanya berlalu lalang diantara orang-orang
yang berada di ruangan. Ia mendapat kado sepatu hitam, dengan jahitannya
yang terlihat kokoh, berukuran 42. Agak sedikit lucu memang, karena
ukuruan sepatu yang biasa ia kenakan hanya sebesar 37. Ia tak
mempermasalahkan hal itu, justru menanggapinya dengan mengernyitkan
bibir ke samping atas kanan kirinya, pertanda bahwa ia menerima dan
mensyukuri apapun yang ia dapatkan itu.
Dalam
hatinya, terbersit ribuan kata yang sempat terangkai menjadi beberapa
bait paragraf, bahwa dari kejadian selama masa orientasi akademik itu,
ia dapat mengambil pelajaran dari setiap hal yang ia lalui. Melihat
perjuangannya dari hari pertama yang tak mudah ia lalui, sampai pada
hari terakhir orientasi akademik, yang mana pada hari itu ia mendapatkan
sebuah kado, sebagai pengganti atas kesungguhan dan kerja kerasnya
mentaati seluruh aturan selama masa orientasi akademik berlangsung,
hingga berusaha tepat waktu berpacu dengan terbitnya matahari sampai
sekembalinya ke peradabannya di ufuk barat.
Sepatu
hitam yang ia peroleh dari hasil tukar kado, ia memaknainya sebagai
kesiapan yang diberikan oleh Allah, untuk menapaki hari-hari selama ia
belajar di kampus STT Nurul Fikri ini.
Warna hitam dan jaitannya yang kokoh itu, mengingatkannya bahwa ia tak
boleh menyerah ketika dihadapkan pada kesulitan, seperti halnya saat ia
menabrak salah seorang peserta ormik saat hendak mengambil kado, ia tak
serta merta berhenti, melainkan terus berjalan hingga menggapai apa yang
menjadi tujuannya itu, dengan tekad yang kuat tentunya.
Dilihat
dari ukuran sepatu, yang akan terlihat kedodoran saat ia memakainya,
menandakan bahwa Allah ingin ia lebih bersabar dan melapangkan hatinya,
saat setiap kali ia bertemu dengan aral ketika menggapai cita-cita di kampus tercinta ini.
Ia
mendapat kado berupa sepatu, pun bukan berarti ia hanya mendapatkan
sebelahnya saja, melainkan sepasang kanan dan kiri. Pun, meski memiliki
manfaat yang sama, namun sepasang sepatu itu tak bisa digunakan untuk
berjalan beriringan setiap waktu. Itu artinya bahwa ia tak sendirian,
ada orang lain yang memiliki tujuan sama dengan kesibukan yang berbeda.
Mereka tak bisa saling menunggu untuk menjadikan tujuan itu menjadi
nyata, melainkan dengan saling mengingatkan, menguatkan, dan saling
membantu dalam kesulitan, serta bersama-sama meninggalkan jejak
kemalasan. Mereka adalah teman seperjuangan.
Tali
sepatu yang memenuhi celah lubang diatas punggung sepatu, yang mana
kemudian melilitkan tubuhnya untuk menjaga agar tetap kokoh dan tidak
mudah lepas saat digunakan, Remaja perempuan itupun mengambil pelajaran
daripadanya, yakni terhadap Sang Pencipta, yang kemanapun langkahnya
pergi, niat karena Allah lah yang harus menjadi akhir dari setiap
tujuannya, dan kemudian dengan erat menggenggam-Nya di dalam hati.
Mulai
hari itu, ia pun bertekad untuk menyelesaikan setiap semester yang ia
lalui dengan sungguh-sungguh. Berbekal dari pengalaman yang ia dapatkan
hari itu, ia menjalaninya dengan harapan dapat mewujudkan cita-citanya,
yakni menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama dengan mengamalkan
ilmu yang ia peroleh dari kesehariannya belajar di Kampus STT NF ini.
Source http://unf.ac.id/index.php/pojok-mahasiswa/item/1375-kisah-orientasi-akademik-mahasiswa-stt-nf